Hari Sabtu, 07 Agustus 2021, Persada (Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana) Universitas Brawijaya-Malang menyelenggarakan Workshop Pengantar Linguistik Forensil Dan Psikologi Forensik Dalam Sisem Peradilan Pidana. Acara ini dilatarbelakangi oleh adanya keinginan praktisi peradilan pidana (criminal justice actor) seperti kuasa hukum, penyidik, dan jaksa untuk meningkatkan kualitas penegakan hukum dengan memanfaatkan perkembangan ilmu linguistik dan psikologi forensik. Kehadiran ilmu yang berkembang pesat tersebut diharapkan agar dapat dimanfaatkan dalam proses penyidikan, maupun dalam proses persidangan, terutama dalam upaya pembuktian teori pidana bersama-sama atau pidana dalam rangka membatu kejahatan. Namun sayangnya, ilmu linguistik dan psikologi forensik belum banyak digunakan. Melalui workshop ini diharapkan dapat menghadirkan para ahli bidang linguistik dan psikologi forensik untuk memberikan masukan dan saran agar kekurangan tersebut ditemukan upaya solusinya.
Acara workshop menghadirkan 3 narasumber yang memiliki latar belakang disiplin ilmu berbeda. Nara Sumber pertama, Fachrizal Afandi, seorang praktisi dan akademimisi peradilan pidana, menyampaikan bahwa praktik sistem peradilan pidana di Indonesia masih mirip dengan political order model yang cenderung dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Kecenderungan ini ditandai dengan penggunaan diskresi dan fabrikasi bukti dalam sistem peradilan pidana. Fachrizal Afandi berharap agar sistem peradilan pidana dapat ditingkatkan hingga mencapai due process model yang mengutamakan penegakan keadilan yang ideal. Hal itu seringkali terhambat oleh adanya aturan perlindugan yang malah melindungi pelaku, tidak adanya persamaan hak, adanya pengendalian oleh kekuasaan yang sewenang-wenang. Praktisnya, para ahli ilmu linguistik dan psikologi forensik dapat berperan dalam mengungkap hubungan stille Gutuigen (barang bukti yang diam) dengan terdakwa dalam perkara pidana. Dan juga mengungkap kebenaran atau kualitas fakta sprekende getuigen (keterangan saksi dan terdakwa). Peran ahli linguistik dan psikologi forensik merupakan perkembangan sains forensik, yang pada awalnya terbatas pada sains yang berbasis fisik (fisika, kimia, biologi, dan medik), kini meluas mencakup pada sains yang berbasis non fisik (bahasa, psikologi, antropologi, dll).
Nara sumber kedua adalah Nur Inda Jazilah, seorang ahli bahasa yang bekerja pada Google Indonesia dan juga relawan di KIKA (Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik). Nur Inda Jazilah menjelaskan 2 poin penting, yaitu sejarah singkat dan metodologi linguistik forensik. Pertama kali, linguistik forensik dikenalkan oleh Jan Svartvik, seorang doktor di Universitas Lund-Swedia. Terminology linguistik forensik digunakan pertama kali dalam laporan analisis 9 statement Evan pada komisi Timothy John Evan tahun 1968. Evan memberikan pernyataan yang berbeda ketika bersaksi di kantor polisi Merthyr Tydfill pada 30 November 1949 dan kantor polisi Notting Hill pada 2 Desember 1949. Timothy John Evan telah dihukum gantung pada Maret 1950 karena didakwa telah membunuh istri dan anak perempuannya yang masih bayi. Jan Svartvik melakukan analisis kuantitif mengenai perbedaan sintaksis yang terdapat pada 4 pernyataan evan untuk menemukan sidik jari lingusitik yang bukan khas Evan. Terdapat indikasi editing pada laporan berkas perkara polisi dan terdapat ketidaksesuaian gaya bahasa. Lebih lanjut, nara sumber menjelaskan tentang 2 Lingkup riset linguistik forensik. Pertama, linguistik pada proses proses peradilan hukum, misalnya linguistik pada naskah hukum.peraturan, panggilan darurat, wawancara kepolisian, hingga percakapan di ruang siding pengadilan. Kedua, linguistik pada bukti atau fakta kejadian. Linguistik pada proses peradilan cenderung menyulitkan berkitan dengan karakteristik istilah teknis maupun kebahasaan yang cenderung menggunakan linguistik Belanda dalam proses proses peradilan. Misalnya, mistranslasi dari Belanda ke dalam istilah Indonesia akan berdampak pada seberapa adil keputusan kasus, contohnya kata “makar” dalam kontek Indonesia yang mana aslinya berasal dari kata “aanslag” dalam bahasa Belanda.
Narasumber ketiga adalah Nael Sumampouw. Seorang praktisi sekaligus akademisi Psikologi forensik dari Universitas Indonesia. Nael Sumampouw menjelaskan bahwa psikologi forensik merupakan penerapan ilmu perilaku (aspek psikologi) untuk menegakkan supremasi hukum, khususnya peradilan pidana. Psikologi forensik dapat digunakan pada lingkup psikologi kriminal, psikologi legal, investigasi psikologi, dan koreksi psikologi. Sertifikasi sebagai ahli psikologi forensik dilakukan oleh asosiasi psikologi forensik (Apsifor) di bawah naungan Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi). Produk psikologi forensik dimaksudkan untuk membantu dan memberikan masukan dalam proses peradilan, terutama pada proses yang sulit dan agak membingungkan. Pemanfaatan ilmu psikologi forensik dapat mencegah terjadinya kegalalan peradilan, terutama yang disebabkan faktor manusia. Seperti identifikasi dan keterangan saksi yang keliru, pengakuan palsu, kesalahan prosedur dan bias oleh aparat penegak hukum dalam proses peradilan, serta upaya publikasi dini suatu kasus. Psikologi forensik merupakan pengetahuan berbasis riset yang dapat meningkatkan kualitas penyidikan, menghilangkan bias investigator, dan menghilangkan penggunaan voodoo sains dalam proses persidangan.
Sesi tanya jawab membahas substansi pertanyaan peserta yang disampaikan pada forum chatzoom, dan 3 pertanyaan peserta yang disampaikan secara langsung oleh Riki Marbun, Fajar, & Handar Subandi. Substansi pertanyaan mengarah pada kejelasan bahasan yang dikaitkan dengan beberapa permasalahan, antara lain: kedudukan laboratorium forensik yang ideal di Indonesia; data yang kredibel secara saintifik menurut linguistik dan psikologi forensik; perbedaan refensi dan pengalaman ahli yang biasanya menyebabkan perbedaan pendapat ahli, apdahal pada obyek masalahnya sama. Umpan balik yang penting disampaikan oleh penanya Riki Marbun mengenai upaya solusi atas permasalahan dengan menerapkan metode analisis wacana kritis dengan berparadigma partisipatori untuk meneliti fenomena sosial.
Secara umum, workshop ini menyampaikan pesan tentang pentingnya kolaborasi diantara berbagai disiplin ilmu dalam rangka menegakkan keadilan di ranah perasilan pidana. Opening remark, sambutan pembukaan, inti materi para narasumber, dan substansi pertanyaan dari para peserta menjadikan pesan penting workshop saling melengkapi. Meskipun demikian, satu kelemahan workshop ini adalah tidak adanya kehadiran pihak aparat penegak hukum (jaksa dan penyidik kepolisian). Ketidak-hadiran tersebut menyebabkan perspektif pesan dalam workshop terasa kurang lengkap, mengingat bahwa aparat penegak hukum adalah satu pihak yang sangat sentral dalam upaya menegakkan keadilan di ranah hukum pidana. (Mun)